Babak baru bagi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat, karena
sekarang sudah diakui menjadi profesi. Dengan demikian fasilitator pemberdayaan
masyarakat (FPM) secara profesi dapat bersanding dengan profesi lain seperti
dokter, advocate dll. Saat ini setidaknya 30.000 fasilitator PNPM Mandiri di
tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten dan propinsi serta nasional sekarang
sedang menunggu untuk disertifikasi. Tantangan Lembaga Sertifikasi Profesi FPM
berarti tantangan buat semua pelaku pemberdayaan masyarakat.
Pada awalnya fasilitator masyarakat banyak berkembang di
kegiatan philantropi dan charity, sifat kerelawanannya lebih menonjol dari pada
sebagai jasa. Keterpanggilan tersebut muncul atas kebutuhan dimasyarakat yang
dianggap memerlukan bantuan. Contoh jelas kegiatan kerelawanan ini muncul pada
saat penanganan bencana. Formalisasi
profesi ini dimulai sekitar tahun 70an, dimana Lembaga Swadaya Masyarakat yang
mempunyai kegiatan community development, mulai merekrut tenaga pendamping
masyarakat (Sudarwo, 2012). Dalam tingkatan ini, aktivis masyarakat ini mulai
mendapatkan tugas-tugas yang lebih jelas dengan imbal jasa yang lebih berupa
insentif dan uang pengganti operational.
Dengan diterimanya paradigma pembangunan partisipatif,
pendekatan community driven development (CDD) mulai diadopsi oleh pemerintah.
Mulai tahun 80 sampai 90an proyek percontohan IDT, P2DT, PPK mulai bermunculan
yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan, sampai pada akhirnya pada tahun
1994 pemerintah mengadopsi pendekatan CDD dalam skala nasional melalui program
PNPM Mandiri. Sejak saat itu, fasilitator pemberdayaan masyarakat mulai banyak
dibutuhkan. Sifat kegiatan ini menjadi lebih formal. Tugas dan tanggung jawab
fasilitator lebih jelas. Atas dasar itu, maka fasilitator mendapatkan imbal
jasa atau gaji dari manajemen proyek. Proyek pemberdayaan masyarakat yang
dulunya cenderung dalam skala kecil, maka sekarang menjadi skala nasional,
kebutuhan fasilitatornya menjadi bersifat masif. Atas dasar perkembangan
tersebut dan untuk menjamin dan meningkatkan mutu pelaku pemberdayaan
masyarakat maka sertifikasi kompetensi ini dirasakan perlu. Proses sertifikasi
ini sekaligus menjadi pengakuan bidang kerja fasiitator pemberdayaan sebagai
suatu profesi.
Manfaat dan tantangan
Dengan adanya standarisasi kompetensi ini maka beberapa
manfaat yang dapat dipetik oleh fasilitator adalah meyakinkan kepada pemberi
kerja bahwa dirinya kompeten dalam melakukan tugas fungsi fasiitator. Memiliki
sertifikat kompetensi berarti meningkatkan posisi tawar fasilitator terhadap
manajemen proyek. Selain itu dengan memiliki sertifikasi kompetensi,
fasilitator dapat lebih baik merencanakan karirnya. Kompetensi fasilitator akan
dievaluasi setiap dua tahun oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi). Dengan
demikian sistem penjaminan mutu ini akan mendorong seluruh insan fasilitator
untuk memelihara kompetensinya. Di pihak pengguna jasa, adanya sertfikasi
dipandang memberi kepastian lebih baik terhadap mutu atau kompetensi kerja
fasilitator yang akan direkrut. Selain itu sertifikasi profesi FPM ini akan
lebih memberikan kepastian kepada Lembaga Pelayanan Publik untuk mendapat
tenaga yang kompeten. Bagi masyarakat adanya sertifikasi kompetensi FPM
diharapkan dapat lebih mendorong proses pembelajaran yang mengantarkan mereka
pada perbaikan kesejahteraan.
Sistem standar sertifikasi ini adalah merupakan suatu sistem
penjaminan kompetensi profesi yang melibatkan berbagai lembaga seperti BNSP,
pengguna jasa, LSP, asosiasi profesi dan fasilitator sendiri. Berjalannya
sistem standarisasi sangat tergantung pada berjalannya sistem pada setiap
pelaku yang taat azaz. Serangkaian mekanisme dan prosedur perlu ditaati oleh
semua pelaku untuk menjami mutu.Hal ini membutuhkan kedisplinan dan komitmen
bagi semua. Kerja pelaku pemberdayaan masyarakat yang selama ini kental dengan
intuisi akan memasuki babak baru yaitu standarisasi.
Bukan ujian
Proses uji kompetensi pada prinsipnya memberikan kesempatan
kepada asesi (istilah untuk seseorang yang akan mengikuti uji kompeteni) untuk
menunjukkan kompetensinya dihadapan asesor. Hal ini berbeda dengan ujian,
dimana seseorang dianggap belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan terhadap
materi tertentu sebelum lulus ujian. Dalam proses asesmen kompetensi, apabila
asesi telah dapat memberikan bukti atas unit yang akan diujikan, maka ia akan
dinyatakan kompeten. Dengan demikian dalam proses sertifikasi ini, si pemohon
dianggap sudah memiliki pengalaman di bidangnya dan mengajukan diri untuk
disertifikasi.
Menurut definisi Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BNSP),
bukti adalah suatu bahan yang dikumpulkan dalam rangka membuktikan pencapaian
kompetensi asesi sebagaimana dipersyaratkan unit standar kompetensi. Bukti
dapat berupa sertifikat pelatihan, foto, minutes meeting, surat keterangan,
surat tugas, laporan dan dokumen lain yang dapat menjelaskan bahwa seseorang
pernah melakukan kegiatan tertentu dan kompeten. Dalam hal ini, ijasah dan CV
adalah sebagai bagian dari pra-syarat administrasi dalam pendaftaran dan belum
cukup dianggap sebagai alat bukti. Untuk persiapan menuju uji kompetensi
beberapa hal perlu dipersiapkan oleh pemohon adalah memahami unit kompetensi
yang akan diujikan dan mempersiapkan bukti-bukti sesuai dengan unit kompetensi
yang akan diujikan.
Sertifikasi kompetensi FPM ini perlu dilihat sebagai proses
untuk membuktikan kompetensi fasilitator. Bagi mereka yang telah merasa
menjalankan tugas dengan baik tentu tidak perlu khawatir tinggal mencari
bukti-bukti yang perlu disertakan. Mulai saat ini kita perlu membiasaan tertib
menyimpan bukti-bukti hasil kerja yang relevan, agar memudahkan proses asesmen
dan pemeliharaannya.
Yang perlu dipersiapkan untuk uji kompetensi
SKKNI sebagai benchmarking
Yang menjadi acuan untuk uji kompetensi FPM adalah Standar
Kompetensi Kerja Nasional bidang Fasiltator Pemberdayaan Masyarakat yang telah
ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menurut skema
sertifikasi, standar kompetensi FPM yang disepakati saat ini adalah untuk level
operator, dimana cakupan kerja fasilitator berada di tingkat desa atau kelurahan,
seperti halnya yang sekarang diperankan oleh Fasilitator Kecamatan dan
Fasilitator Kelurahan. Meskipun demikian, standarisasi kompetensi FPM saat ini
adalah untuk kompentensi dasar yang seyogyanya dimiliki untuk semua pelaku
pemberdayaan masyarakat, baik fasilitator kelurahan, kecamatan, kabupaten,
propinsi maupun konsultan management di tingkat regional dan nasional.
Terdapat 18 unit kompetensi yang perlu dibuktikan yaitu:
1. Membangun
relasi sosial
2. Mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat
3. Mengembangkan
kesadaran masyarakat untuk berubah menuju kehidupan yang lebih baik
4. Mengembangkan
kapasitas sebagai fasilitator
5. Meningkatkan
aksesibilitas antar pemangku kepentingan
6. Membangun
visi dan kepemimpinan masyarakat
7. Membangun
jejaring dan kemitraan
8. Membangun
solidaritas sosial
9. Mengembangkan
kapasitas kelembagaan masyarakat dan kepemerintahan lokal
10. Memperkuat
posisi tawar masyarakat
11. Merancang
perubahan kehidupan masyarakat
12. Mengelola
pembelajaran di dalam masyarakat
13. Menyiapkan
kader pemberdayaan masyarakat
14. Mengembangkan
kemandirian masyarakat
15. Mengelola
konflik di dalam masyarakat
16. Mengembangkan
sistem kontrol sosial
17. Mengembangkan
inovasi pemberdayaan masyarakat
18. Memfasilitasi
penerapan inovasi pemberdayaan masyarakat di bidang/sektor kegiatan tertentu.
Secara sekilas unit kompentensi yang perlu di buktikan
tampak banyak, namun pada kenyataannya ke 18 unit kompetensi itu sudah
dilakukan oleh fasilitator di lapangan. Apabila 18 unit kompetensi tersebut
dicermati, terdapat banyak hal yang saling terkait satu sama lain dan bukan
menjadi unit kompetensi yang berdiri sendiri.
Metode asesmen dan jenis bukti
Metode asesmen pada prinsipnya harus disetujui oleh kedua
belah pihak baik pemohon (asesi) maupun asesor.Asesor dalam hal ini berperan
membantu asesi untuk dapat membuktikan kompetensinya. Adapun seseorang asesi
dapat membuktikan kompetensinya melalui beberapa jenis pembuktian, seperti:
• langsung,
contohnya:
o observasi
aktivitas kerja, baik pada keadaan sebenarnya ataupun dalam kondisi
disimulasikan
o contoh
hasil kerja
• tidak
langsung, contohnya laporan pihak ketiga
• tambahan,
contohnya rekaman kerja, rekaman pelatihan, portofolio
Aturan-aturan bukti:
• sahih/valid,
sebagai contoh:
o memperhatikan
elemen dan kriteria unjuk kerja
o merefleksikan
keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan sebagaimana dikemukakan oleh unit
kompetensi terkait
o memperlihatkan
penggunaan sebagaimana dikemukakan pada batasan variabel
o mendemonstrasikan
kinerja keterampilan dan pengetahuan yang digunakan, baik pada kondisi kerja
real ataupun simulasi
• terkini,
sebagai contoh:
o mendemonstrasikan
keterampilan dan pengetahuan terkini asesi
o memenuhi
standar keterkinian
• memadai,
sebagai contoh:
o mendemonstrasikan
kompetensi setiap saat
o mendemonstrasikan
kompetensi secara berulang
o tidak
berkurang kemampuan/persyaratan bahasa, literasi, numerasi
• otentik,
sebagai contoh:
o asesi
pernah mengerjakan pekerjaan dimaksud
o dapat diakui/diverifikasi
Metode Verifikasi
Berdasarkan bukti-bukti dan portofolio yang diajukan dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti:
• portofolio
• simulasi / bermain peran (role play)
• tes lisan
• tes
tertulis
LANGKAH PERSIAPAN
1. Pelajari
18 unit kompetensi yang akan diujikan dari literatur yang anda dimiliki dan
coba refleksikan dalam pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh fasilitator.
Baca buku-buku referesi tentang pemberdayaan masyarakat atau bahan-bahan
pelatihan yang terkait.
2. Mempersiapkan
Daftar Riwayat Hidup (CV). LSP-FPM
(Lembaga Sertifikasi Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat tidak membuat
standar format CV. Dalam hal ini IPPMI memberikan referensi fasilitator dengan
contoh pengisiannya (Lampiran 1). Perlu
diperhatikan di dalam CV adalah uraian tugas dan tanggung jawab selam bertugas.
Semakin dekat keterkaitan tugas dan tanggung jawab pekerjaan dengan 18 unit
kompetensi, maka informasi akan semakin baik.
3. Mempersiapkan
jenis bukti portofolio. Dokumen portofolio adalah dokumen yang dapat memberikan
penjelasan bahwa calon asesi memiliki kompentensi terhadap elemen dalam unit
kompetensi. Setiap Kriteria Unjuk Kompetensi
memerlukan jenis bukti tersendiri. Misalnya untuk membuktikan bahwa
asesi telah ampu melakukan pendekatan sosial, maka dokumen yang dapat
menjelaskan kemampuan tersebut adalah antara lain risalah pertemuan, jurnal
harian dll. Tabel 1 menjelaskan tentang berbagai jenis portofolio untuk setiap
Kriteria Unjuk Kompetensi. Setiap bukti portofolio tersebut harus memeluhi
kriteria Valid, Asli dan Terkiniuntuk dapat diterima. Oleh karena itu asesi
perlu memperhatikan apakah dokumen portofolio yang ada memenuhi kriteria atau
tidak.Untuk membantu mempelajari kriteria tersebut perhatikan Tabel 2, yang menjelaskan
penjabaran kriteria untuk setiap jenis dokumen portofolio. Portofolio yang
memenuhi syarat inilah yang akan menjadi pertimbangan metode-metode uji
kompetensi yang akan disepakati bersama antara asesi dengan asesor. Semakin
lengkap portofolio fasilitator, semakin simpel metode uji kompetensi yang akan
di jalankan.
4. Mengisi
formulir PO1. Formulir ini merupakan formulir permohonan sertifikasi yang harus
diisi oleh asesi.Bentuknya seperti Riwayat Hidup, namun lebih singkat.sedangkan
formulir POA2 merupakan asesmen mandiri yang perlu diisi oleh asesi. Dalam panduan ini diberikan contoh pengisian
POA1 (lampiran 2) dan POA 2 (lampiran 3).
(Sumber: http://www.ippmi.org/index.php/uji-kompetensi#)
Ayo kita aktivkan blogspot ini sebagai wahana diskusi qt di kalbar, jangan lupa pada saat rakorkab sekalian dilakukan pendaftaran, agar di thn 2014 semua pelaku pemberdayaan bisa proses sertifikasi semua di kalbar.... tetap semangattt !!!!!
BalasHapusTerima kasih supportnya. Mudah2an harapan tersebut dapat kita wujudkan bersama. Amien.
Hapus